Feeds RSS

Selasa, 11 Agustus 2009

FAKTA DAN OPINI

[Artikel - Th. I - No. 9 - November 2002]

EKONOMI RAKYAT INDONESIA PASCA KRISMON
oleh Mubyarto

Selama 5 bulan (Juni-Oktober 2000) Pusat Penelitian Kependudukan UGM bekerja­sama dengan RAND Corporation Santa Monica mengadakan Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) di 13 propinsi dengan mewawancarai 10.000 keluarga atau 43.000 orang. Survei yang telah diadakan untuk ketigakalinya ini mewawancarai keluarga-keluarga yang sama (panel) yang menjadi sampel sejak Sakerti 1 (1993) dan Sakerti 2 (1997). Pada tahun 1998 khusus untuk meneliti dampak krismon yang sedang berlangsung, dilaksanakan Sakerti 2+ dengan mengambil 25% sub-sampel. Penemuan-penemuan Sakerti 2+ yang telah disebarluaskan melalui beberapa tulisan antara lain oleh Elizabeth Frankenberg, James Smith, dan Kathleen Beegle (1999) mengejutkan banyak pihak karena berbeda dengan “anggapan umum”. Namun sejumlah peneliti lain seperti kelompok SMERU menemukan hal-hal yang sejalan dengan penemuan Sakerti 3 khususnya dalam dampak krismon yang tidak terlalu parah terhadap kehidupan keluarga/perorangan. Kami sendiri yang mengadakan kunjungan lapang ke berbagai desa selama 1998-1999 juga mencatat pernyataan banyak warga desa bahwa “krisis ini belum apa-apa dibanding krisis yang lebih berat pada jaman Jepang, awal kemerdekaan, dan krisis ekonomi tahun 1965-66". [1]
[1] Mubyarto, 1999, Reformasi Sistem Ekonomi, Yogyakarta , Aditya Media, hal 129-139.
Demikian keparahan krismon 1997 yang menjadi polemik nasional selanjutnya tenggelam karena pendapat yang lebih condong ke “dampak yang parah” lebih populer agar tidak menghambat peluncuran program-program JPS (Jaring Pengaman Sosial) lebih-lebih yang dananya berasal dari bantuan luar negeri. Program-program JPS adalah program untuk menolong penduduk miskin yang sedang dalam kesusahan sehingga tidaklah dianggap bijaksana menyebarluaskan penemuan kajian-kajian yang menyimpulkan dampak krismon tidak parah. Peneliti-peneliti Indonesia yang jujur melaporkan kenyataan dari lapangan terpaksa mengendalikan diri “demi kemanusiaan”. Namun kemudian mereka merasa terpukul membaca komentar penerima hadiah Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1998 Amartya Sen yang menyindir mereka yang telah membesar-besarkan dampak krisis koneter di Asia Timur.
Setelah laporan Sakerti 2+ sedikit dilunakkan “demi kemanusiaan”, kini Sakerti 3 yang dilaksanakan 3 tahun setelah krisis dan 2 tahun setelah Sakerti 2+, ternyata memperkuat penemuan-penemuan Sakerti 2+. Tanpa diduga, dampak yang “menyingkirkan” berita “krisis belum apa-apa” ini merugikan penduduk miskin dan bertentangan dengan kepentingan melidungi dan memajukan ekonomi rakyat, karena telah dimanfaatkan secara licik oleh kelompok tidak miskin yaitu golongan ekonomi kuat dan sektor industri modern dalam rangka menuntut pemerintah menyelamatkan kebangkrutan mereka dan lebih khusus lagi dalam rangka membenarkan kebijakan penalangan (bail out) utang-utang melalui BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang mulai dikucurkan tahun 1998. Adalah kepentingan para penerima BLBI untuk mengesankan bahwa krisis ekonomi masih terus berjalan, dan makin parah, agar peme­rintah tetap tidak dapat bersikap keras pada mereka untuk membayar utang-utang besar yang macet sejak awal krismon. Utang-utang besar yang macet menjadi amat berat karena banyak utang dalam bentuk valuta asing yang tidak dijamin sehingga jika ekonomi Indonesia sudah dianggap pulih dari kondisi krisis, mereka para pengutang akan kehilangan alasan untuk tidak membayarnya. Inilah alasan “tersembunyi” untuk terus memojokkan pemerintah yang sayangnya memperoleh dukungan pakar-pakar ekonomi makro yang tidak pernah meninggalkan meja komputernya dan tidak pernah mau menerapkan metode analisis induktif-empirik dengan cara datang ke daerah-daerah meneliti kehidupan ekonomi riil (real-life economics). Mereka membesar-besarkan dampak krisis dengan menyebutkan pengangguran yang mencapai 40 juta orang, pelarian modal asing US $ 10 milyar per tahun dan lain-lain.

FAKTA:
  • Selama 5 bulan (Juni-Oktober 2000) Pusat Penelitian Kependudukan UGM bekerja­sama dengan RAND Corporation Santa Monica mengadakan Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) di 13 propinsi dengan mewawancarai 10.000 keluarga atau 43.000 orang.
  • Survei yang telah diadakan untuk ketigakalinya ini mewawancarai keluarga-keluarga yang sama (panel) yang menjadi sampel sejak Sakerti 1 (1993) dan Sakerti 2 (1997).
  • Penemuan-penemuan Sakerti 2+ yang telah disebarluaskan melalui beberapa tulisan antara lain oleh Elizabeth Frankenberg, James Smith, dan Kathleen Beegle (1999) mengejutkan banyak pihak karena berbeda dengan “anggapan umum”.
  • Demikian keparahan krismon 1997 yang menjadi polemik nasional selanjutnya tenggelam karena pendapat yang lebih condong ke “dampak yang parah” lebih populer agar tidak menghambat peluncuran program-program JPS (Jaring Pengaman Sosial) lebih-lebih yang dananya berasal dari bantuan luar negeri.
  • Namun sejumlah peneliti lain seperti kelompok SMERU menemukan hal-hal yang sejalan dengan penemuan Sakerti 3 khususnya dalam dampak krismon yang tidak terlalu parah terhadap kehidupan keluarga/perorangan.

OPINI :
  • Kami sendiri yang mengadakan kunjungan lapang ke berbagai desa selama 1998-1999 juga mencatat pernyataan banyak warga desa bahwa “krisis ini belum apa-apa dibanding krisis yang lebih berat pada jaman Jepang, awal kemerdekaan, dan krisis ekonomi tahun 1965-66".
  • Mereka membesar-besarkan dampak krisis dengan menyebutkan pengangguran yang mencapai 40 juta orang, pelarian modal asing US $ 10 milyar per tahun dan lain-lain.

KOMENTAR SAYA:
Menurt saya pemerintah harus lebih memperhatikan rakyat kecil. karena rakyat kecil lebih membutuhkan bantuan dari pemerintah. Tetapi rakyatpun harus terus berusaha untuk hidup mandiri.

0 komentar: